Selasa, 10 Juni 2008

usaha pemerintah DI Yogyakarta untuk mengatasi polusi udara kendaraan bermotor

BAB I
Kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku saat ini

Dalam rangka upaya perlindungan lingkungan, khususnya pencemaran udara Pemerintah Indonesia, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan berbagai sektor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan pencemaran udara tersebut.
Lingkungan hidup
a. Undang-undang No. 23 tahun 1997 merupakan landasan yang digunakan untuk perlindungan lingkungan secara umum. Beberapa hal yang diatur dalam UU ini diantaranya adalah:
o Hak setiap orang untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
o Kewajiban setiap orang untuk memelihara fungsi lingkungan hidup, serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan, kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang pengelolaan lingkungan hidup.
o Kewajiban pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu berdasarkan kebijakan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan dapat dilimpahkan kepada perangkat pemerintah di wilayah.
o Larangan setiap usaha dan/atau kegiatan melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup demi menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup;
o Kewajiban setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki AMDAL sebagai prasyarat untuk memperoleh ijin usaha dan/atau kegiatan.
o Sanksi administratif, denda dan pidana untuk pelanggaran terhadap ketentuan UU.



b. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 merupakan pengaturan lebih lanjut dari UU 23/1997, khusus untuk pengendalian pencemaran udara. PP ini mengatur tentang:
o Perlindungan mutu udara yang didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar pencemar Udara.
o Inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah harus dilaksanakan untuk dapat menentukan status mutu udara ambien.
o Operasionalisasi pengendalian pencemaran udara berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh kepala instansi yang berwenang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dikoordinasikan oleh Gubernur.
o Pencegahan pencemaran udara dilaksanakan dengan keharusan setiap usaha dan/atau kegiatan untuk menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan, serta melalui mekanisme perijinan.
o Kewajiban melakukan penanggulangan dan pemulihan apabila terjadi pencemaran udara.
o Sanksi pidana, ganti rugi sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan PP.

c. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang terkait dengan baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar pencemar Udara.
o Kepmenlh No. Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
o Kepmenlh No. Kep-13/Menlh/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
o Kepmenlh No. Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan
o Kepmenlh No. Kep-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran
o Kepmenlh No. Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan
o Kepmenlh No. Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar
Udara
o Kepmenlh No. 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang
Diproduksi
o Kepmenlh No. 15/1996 tentang Program Langit Biru
o Keputusan Kepala Bapedal No. 107/Bapedal/XI/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
Disamping UU23/1997 dan PP41/1999 serta Keputusan Menteri tersebut, pemerintah daerah khususnya pemerintah DI.Yogyakarta juga mengeluarkan berbagai peraturan dan keputusan. Peraturan dan keputusan tersebut pada dasarnya mengacu pada peraturan tingkat nasional, dengan modifikasi pada sebagian peraturan dan keputusan. Peraturan dan keputusan tingkat daerah tersebut diantaranya adalah:
o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 182 tahun 2003 tentang Program Langit Biru di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur tentang strategi dan program pengendalian pencemaran udara yang disepakati dan akan dilaksanakan di 4 kabupaten dan 1 kota di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini menetapkan baku mutu udara ambien serta metoda pengukurannya, yang terdiri dari baku mutu udara ambien primer untuk perlindungan manusia dan baku mutu udara sekunder untuk perlindungan hewan, tumbuhan, jarak pandang, kenyamanan serta cagar budaya.
o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 167 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Bergerak Kendaraan Bermotor di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor yang sebagiannya lebih ketat dibanding dengan ambang batas tingkat nasional.
o Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 169 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan ini mengatur baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis industri gula, pengolahan kayu, industri dan jenis kegiatan lain, serta kegiatan utilitas.






















BAB II
Pengendalian pencemaran dari kendaraan bermotor
• Inisiatif dari KLH untuk “leafrogging” untuk kendaraan tipe baru dari tanpa standar menjadi standar EURO II patut didukung. Terobosan-terobosan seperti ini perlu dilakukan untuk hal-hal lainnya seperti ambang batas emisi gas buang.
• Ambang batas emisi gas buang yang berlaku saat ini sudah saatnya direvisi. Sudah ada upaya dari KLH untuk merevisi ambang batas tersebut, namun hingga saat ini tidak dituntaskan. Terkait dengan hal ini, KLH perlu segera menetapkan ambang batas tersebut, termasuk petunjuk penyusunan ambang batas emisi untuk daerah, sehingga daerah juga mampu menyusun ambang batasnya sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing (Contoh kasus: Yogyakarta menyusun ambang batas emisi dengan menyertakan Pb sebagai salah satu parameter untuk pengujian emisi gas buang).
• Upaya yang dilakukan oleh kementerian Lingkungan Hidup yang secara terus menerus mendorong penghapusan bensin bertimbal patut diacungi jempol, termasuk keberhasilan dalam penyediaan bensin tanpa timbal untuk daerah Jabodetabek, Denpasar, Batam dan Cirebon. Diyakini bahwa kunci sukses dari keberhasilan itu adalah kollaborasi atau penggalangan kekuatan dari berbagai stakeholder, diantaranya sektor swasta, universitas, lembaga-lembaga internasional, LSM dan dari pemerintah sendiri. Namun disayangkan, bahwa dalam berbagai kelanjutan aksi penghapusan bensin bertimbal belakangan ini maupun upaya-upaya pengendalian pencemaran udara lainnya kelihatannya kementerian Lingkungan Hidup membatasi diri dalam penggalangan dukungan aktif dari berbagai stakeholder. Disamping itu, Kementerian Lingkungan Hidup harusnya dapat membaca dari pengalaman, bahwa kunci penghapusan bensin bertimbal hanya terletak pada satu departemen, yaitu departemen keuangan. Dengan demikian, maka seharusnya aksi-aksi dari KLH seharusnya diarahkan pada kementerian tersebut.
• Upaya KLH selanjutnya dalam pengendalian pencemaran udara adalah pemanfaatan gas sebagai bahan bakar untuk transportasi dan industri. Pendekatan KLH dalam pengimplementasian program ini dirasakan sangat berbeda. Dalam hal ini, KLH tidak terlalu banyak melibatkan lembaga-lembaga lain diluar pemerintah dan BUMN dalam mendorong pemanfaatan BBG tersebut, padahal pemanfaatan BBG sangat berpeluang untuk menurunkan pencemaran udara, menurunkan beban APBN akibat subsidi BBM, serta peluang untuk pertumbuhan ekonomi baru.
• Dengan diberlakukannya otonomi daerah sedikitnya ada dua ketentuan dalam PP ini
yang bertentangan dengan UU 32/2004, yakni ijin usaha perbengkelan dan penentuan biaya uji berkala. Berdasarkan PP ini, ijin usaha perbengkelan diberikan oleh menteri yang bertanggungjawab dalam bidang industri sedang biaya uji berkala ditentukan oleh Menteri Perhubungan. Dengan berlakunya UU32/2004 hal ini sudah menjadi tanggungjawab daerah.
• Terkait dengan pengendalian pencemaran udara melalui penentuan spesifikasi bahan bakar minyak: dengan spesifikasi yang ada saat ini pengendalian pencemaran udara tidak dapat dilakukan secara efektif mengingat tingginya kandungan timbal dalam bensin serta belerang dalam solar. Ditjen Migas telah menyiapkan rancangan spesifikasi yang baru yang pada prinsipnya sudah mengakomodir upaya pengendalian pencemaran udara, termasuk di dalamnya untuk dapat memenuhi kebutuhan standar EURO II. Namun, hingga saat ini spesifikasi tersebut belum ditetapkan oleh Ditjen Migas. Di samping hal tersebut di atas, ada hal yang cukup menarik dalam penentuan spesifikasi ini. Selama ini Pertamina telah menggunakan HOMC (High Octan Mogas Component) sebagaipenambah angka oktan dalam bahan bakar untuk menggantikan timbal. Penggunaan HOMC ini kira-kira sama dengan pepatah “keluar mulut buaya masuk mulut harimau”. Permasalahannya adalah HOMC dikenal sebagai zat yang bersifat karsinogenik yang dapat menimbulkan penyakit kanker, karena penggunaan HOMC akan meningkatkan emisi HC. Sementara itu, Pertamina melanjutkan pembangunan kilang yang diharapkan akan segera beroperasi untuk memproduksi HOMC, sehingga supply bensin tanpa timbal dalam negeri akan meningkat. Dengan penetapan standar EURO II untuk kendaraan tipe baru yang sudah muai berlaku Januari 2005 maka resiko timbulnya penyakit tersebut dapat dikurangi. Namun perlu diperhatikan bahwa jumlah kendaraan yang sudah memenuhi standar EURO II saat ini masih sangat sedikit.
• Terkait dengan penghapusan bensin bertimbal: ketidaktersediaan bensin tanpa timbal di seluruh Indonesia telah menyebabkan keengganan industri otomotif untuk menggunakan catalytic converter pada kendaraan yang diproduksi di Indonesia, kecuali untuk kendaraan kendaraan tipe baru. Pendanaan merupakan permasalahan utama dari kegagalan penghapusan bensin bertimbal. Walaupun pada prinsipnya antara kementerian energi dan sumber daya mineral dan kementerian lingkungan hidup sudah tercapai kesepakatan untuk menghapuskan bensin bertimbal, namun keengganan kementerian keuangan untuk mengucurkan biaya tambahan untuk penghapusan bensin bertimbal tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, ”bottle neck” dari penghapusan bensin bertimbal ada pada menteri keuangan.















BAB III
Pentaatan dan penegakan hukum

• Ada ketidak-konsistenan dalam hal pengenaan sanksi antara UU23/1997 dan PP41/1999. Dalam UU23/1997 diatur dengan jelas tentang pengenaan sanksi administratif dan ketentuan pidana. Sementara itu, dalam PP41/1999 disebutkan bahwa pencemaran udara hanya dapat dijatuhi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU23/1997. PP41/1999 tidak menyebutkan sama sekali tentang kemungkinan pengenaan sanksi administratif sebagai akibat pencemaran udara.
• Terkait dengan penegakan hukum tersebut, apabila terjadi pencemaran udara oleh kegiatan/usaha sebagaimana ditunjukkan dalam hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh instansi terkait, tidak ada mekanisme bagaimana proses penindakan akan dilakukan.
• Pada prinsipnya UU23/1997 maupun PP41/1999 merupakan upaya pengendalian pencemaran udara yang berdasar pada ”command and control” atau ”atur dan awasi”. Dalam banyak kasus, pengendalian yang hanya didasarkan pada command and control tidak efektif; harus didorong dengan berbagi insentif. Namun disayangkan, bahwa UU dan PP tidak menyinggung sama sekali tentang peluang pemberian insentif untuk kegiatan/usaha yang mampu mengendalikan pencemaran udaranya, terutama insentif yang dapat diberikan untuk penggunaan teknologi pengolahan yang lebih bersih. Juga tidak disinggung dalam UU dan PP tentang kemungkinan/keharusan kegiatan/usaha untuk mengimplementasikan sistem managemen lingkungan, misalnya ISO 14000. Padahal, apabila pemerintah mampu menggerakkan industri yang berpotensi besar untuk mencemari udara untuk menerapkan standar managemen lingkungan, hal ini akan sangat mendukung terhadap upaya penurunan pencemaran udara.



BAB IV
Kewenangan dan Kelembagaan

• UU23/1997 dan PP41/1999 menyebutkan secara jelas peran sentral dari Menteri Lingkungan Hidup (termasuk Bapedal yang sudah dilikuidasi dan perannya dilimpahkan ke MenLH) dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara. Namun, dalam konteks kelembagaan di Indonesia apabila satu lembaga ditunjuk untuk menjadi koordinator, maka koordinasi tidak akan menjadi efektif apabila koordinator tidak memiliki fungsi subordinasi terhadap lembaga lain yang harus dikoordinasikan. Hal ini terjadi pada Kementerian Lingkungan Hidup yang ditunjuk dalam UU dan PP untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian pencemaran udara secara nasional. Pada kenyataanya fungsi koordinasi yang diemban oleh kementerian Lingkungan Hidup tidak dapat berfungsi dengan baik, karena kementerian lain yang harus dikoordinasikan adalah kementerian yang sejajar. Disamping itu, peran Kementerian Lingkungan Hidup yang terasa dimarjinalkan sebagai simbol dari kurangnya komitmen pemerintah terhadap permasalahan lingkungan hidup membuat kementerian lainnya tidak terlalu bergairah untuk dikoordinasikan oleh Kementerian ini. Sebagai akibatnya, banyak hal-hal baik yang diinisiasi oleh Kementerian ini menjadi terasa mandul karena kementerian yang lain tidak ikut mendukung. Contoh yang nyata adalah penetapan Kepmen LH NO. 141/2003 yang menetapkan penerapan standar EURO II untuk emisi mobil tipe baru; standar ini tidak dapat diterapkan secara efektif, karena bahan bakar yang dibutuhkan untuk mencapai standar tersebut tidak tersedia, terhambat oleh keengganan Menteri Keuangan untuk menambah anggaran untuk pengadaan bensin tanpa timbal serta keterlambatan dari Dirjen Migas dalam menetapkan spesifikasi bahan bakar yang baru.
• Terkait dengan peran sentral Depdagri dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam hal ini dipertanyakan peran apa yang dapat dimainkan oleh Depdagri dalam konteks perbaikan kualitas udara perkotaan? Dalam berbagai kesempatan, tidak kelihatan dengan jelas bagaimana Depdagri dapat berperan dalam hal ini.
• Dalam PP41/1999 disebutkan secara jelas tentang peran dari Bapedal (sudah dilikuidasi dan fungsinya beralih ke Kementerian Lingkungan Hidup) dalam mengkoordinasikan pelaksanaan pengawasan pentaatan ambang batas emisi gas buang sebagai bagian dari strategi untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak. Disayangkan, bahwa dalam PP tersebut tidak disebutkan mekanisme pengawasan pentaatan ambang batas tersebut. Apabila merujuk pada UU14/1992 tentang Lalulintas dan angkutan jalan dan PP44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, yang mana dalam UU dan PP tersebut disebutkan dengan jelas tentang kewajiban uji berkala dalam rangka pengujian kelaikan jalan kendaraan bermotor, yang mana pengujian emisi merupakan salah satu bagian dari rangkaian pengujian yang harus dilakukan, maka kemungkinan akan terjadi konflik, karena uji laik jalan tersebut dikoordinasikan oleh Departemen Perhubungan (pelaksanaan sudah lama dilimpahkan ke daerah). Yang menjadi pertanyaan, apakah pengawasan pentaatan ambang batas emisi gas buang akan menjadi bagian dari uji layak jalan, ataukah akan ada dua sistem yang akan berjalan, satu untuk uji laik jalan, sedangkan satunya khusus untuk uji emisi?
• UU dan PP tersebut pada prinsipnya juga telah mengantisipasi peran daerah sebagai
aktor utama dalam pengendalian pencemaran udara di daerahnya masing-masing dalam konteks pelimpahan kewenangan, belum sebagai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UU32/2004 tentang otonomi daerah.
• PP 9/2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tatakerja
Kementerian Negara RI menyebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa fungsi dari KLH adalah perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan. Mengingat permasalahan lingkungan, termasuk pencemaran udara, merupakan efek langsung dari kegiatan perekonomian, adalah lebih tepat apabila KLH berada dibaawah koordinasi Kementerian Bidang Perekonomian. Dengan berada di bawah satu koordinasi maka upaya perlindungan lingkungan dapat lebih dioptimalkan (KLH memberikan rambu-rambu dalam kegiatan perekonomian dalam konteks pengendalian pencemaran udara/pengelolaan lingkungan hidup).